Kamis, 01 Oktober 2009

Selasa, 03 Maret 2009

Tafsir Singkat Surat Al Falaq

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Setelah sebelumnya kita membahas tafsir surat Al Ikhlash. Saat ini kita akan membahas mengenai tafsir singkat surat Al Falaq. Semoga bermanfaat.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (1) مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (2) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (3) وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (4) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (5)

Zuhud : Meninggalkan Sesuatu Yang Dapat Melalaikan dari Alloh

Penjelasan Hadits 31 Al Arba’in An Nawawiyah
Oleh Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr dalam Fathu Qowil Matin

Dari Abul ‘Abbas, Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ اَحَبَّنِيَ اللهُ وَ اَحَبَّنِيَ النَّاسُ فَقَالَ : - اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ-
حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَه وَ غَيْرُهُ بِاَسَانِيْدَ حَسَنَةٍ
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu perbuatan yang jika aku mengerjakannya, maka aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia’. Beliau lantas bersabda:

‘Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pula terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya manusia mencintaimu’.”

[Hadits Hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya dengan sanad hasan]

Beberapa Pelajaran dari Hadits Di Atas
Pertama
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tamak dalam melakukan setiap kebaikan, mereka adalah manusia yang terdepan dalam melaksanakan kebaikan daripada yang lainnya. Mereka (para sahabat) betul-betul ingin mengetahui suatu amalan yang dapat menyebabkan mereka mendapat kecintaan Allah dan kecintaan manusia. Oleh karena itu, mereka menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu” menunjukkan bahwa kecintaan Allah diperoleh dengan seseorang zuhud terhadap dunia. Definisi yang paling bagus, ‘zuhud terhadap dunia’ adalah seseorang meninggalkan sesuatu yang dapat melalaikannya dari mengingat Allah. Definisi ini sebagaimana dinukil dari Al Hafizh Ibnu Rojab ketika beliau menjelaskan hadits ini dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (2/186) dari Abu Sulaiman Ad Daaroniy.
Beliau mengatakan,

“Para ‘alim ulama di Iraq berselisih pendapat mengenai pengertian zuhud. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah menjauhi dari manusia. Ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan berbagai nafsu syahwat. Ada juga yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan diri dari kekenyangan. Semua definisi ini memiliki maksud yang sama.”

Kemudian Ad Daaroniy mengatakan bahwa beliau cenderung berpendapat bahwa zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang dapat melalaikan dari mengingat Allah ‘azza wa jalla. Definis beliau ini sangatlah bagus. Karena definisi yang beliau ajukan telah mencakup makna dan macam-macam zuhud.

Ketiga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Zuhudlah pula terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya manusia mencintaimu”. Manusia dikenal begitu tamak terhadap harta dan berbagai kesenangan di kehidupan dunia. Kebanyakan manusia sangat kikir untuk mengeluarkan hartanya dan enggan untuk berderma. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْراً لِّأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghaabun: 16)

Seharusnya seseorang tidak terkagum-kagum dengan orang yang sangat tamak terhadap dunia dan menampakkan padanya. Jika seseorang merasa cukup dengan apa yang ada pada manusia, dia akan memperoleh kecintaan mereka dan manusia pun akan mencintainya. Jika sudah demikian, maka dia akan selamat dari kejelekan mereka.

Empat
Beberapa faedah berharga dari hadits di atas:

1. Para sahabat sangat bersemangat melakukan sesuatu yang dapat mendatangkan kecintaann Allah dan manusia.
2. Dalam hadits di atas terdapat dalil adanya sifat mahabbah (kecintaan) bagi Allah ‘azza wa jalla.
3. Sesungguhnya kebaikan bagi hamba adalah jika Allah mencintainya.
4. Untuk memperoleh kecintaan Allah dengan zuhud pada dunia.
5. Sesungguhnya jika seseorang zuhud terhadap apa yang ada pada manusia, maka itu merupakan sebab baginya untuk mendapatkan kecintaan mereka. Dengan zuhud seperti ini akan membuatnya memperoleh kebaikan dan selamat dari berbagai kejelekan manusia.

6 Rabi’ul Awwal 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal

Rabu, 11 Februari 2009

Menyoroti Perayaan Valentine’s Day

Dikirim oleh webmaster, Sabtu 07 Februari 2009, kategori Aqidah
Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 51 Tahun I
.: :.
Cinta adalah sebuah kata yang indah dan mempesona yang hingga sekarang belum ada yang bisa mendefinisikan kata cinta itu sendiri. Meskipun demikian setiap insan yang memiliki hati dan pikiran yang normal tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya. Maha Suci Dzat Yang telah menciptakan cinta.

Jika kita berbicara tentang cinta, maka secara hakikat kita akan berbicara tentang kasih sayang; jika kita berbicara tentang kasih sayang, maka akan terbetik dalam benak kita akan suatu hari yang setiap tahunnya dirayakan, hari yang selalu dinanti-nantikan oleh orang-orang yang dimabuk cinta, dan hari yang merupakan momen terpenting bagipara pemuja nafsu.

Sejenak membuka lembaran sejarah kehidupan manusia, maka disana ada suatu kisah yang konon kabarnya adalah tonggak sejarah asal mula diadakannya hari yang dinanti-nantikan itu. Tentunya para pembaca sudah bisa menebak hari yang kami maksud. Hari itu tak lain dan tak bukan adalah "Valentine Days" (Hari Kasih Sayang?).

* Definisi Valentine Days
Para Pembaca yang budiman, mari kita sejenak menelusuri definisi Valentine Days dari referensi mereka sendiri! Kalau kita membuka beberapa ensiklopedia, maka kita akan menemukan definisi Valentine di tiga tempat :

* Ensiklopedia Amerika (volume XIII/hal. 464) menyatakan, "Tanggal 14 Februari adalah hari perayaan modern yang berasal dari dihukum matinya seorang pahlawan kristen yaitu Santo Valentine pada tanggal 14 Februari 270 M".

* Ensiklopedia Amerika (volume XXVII/hal. 860) menyebutkan, "Yaitu sebuah hari dimana orang-orang yang sedang dilanda cinta secara tradisional saling mengirimkan pesan cinta dan hadiah-hadiah. Yaitu hari dimana Santo Valentine mengalami martir (seorang yang mati sebagai pahlawan karena mempertahankan kepercayaan/keyakinan)".

* Ensiklopedia Britania (volume XIII/hal. 949), "Valentine yang disebutkan itu adalah seorang utusan dari Rhaetia dan dimuliakan di Passau sebagai uskup pertama".

* Sejarah Singkat Valentine Days
Konon kabarnya, sejak abad ke-4 SM, telah ada perayaan hari kasih sayang. Namun perayaan tersebut tidak dinamakan hari Valentine. Perayaan itu tidak memiliki hubungan sama sekali dangan hari Valentine, akan tetapi untuk menghormati dewa yang bernama Lupercus. Acara ini berbentuk upacara dan di dalamnya diselingi penarikan undian untuk mencari pasangan. Dengan menarik gulungan kertas yang berisikan nama, para gadis mendapatkan pasangan. Kemudian mereka menikah untuk periode satu tahun, sesudah itu mereka bisa ditinggalkan begitu saja. Dan kalau sudah sendiri, mereka menulis namanya untuk dimasukkan ke kotak undian lagi pada upacara tahun berikutnya.

Sementara itu, pada 14 Februari 269 M meninggalkan seorang pendeta kristen yang bernama Valentine. Semasa hidupnya, selain sebagai pendeta ia juga dikenal sebagai tabib (dokter) yang dermawan, baik hati dan memiliki jiwa patriotisme yang mampu membangkitkan semangat berjuang. Dengan sifat-sifatnya tersebut, nampaknya mampu membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap penderitaan yang mereka rasakan, karena kezhaliman sang Kaisar. Kaisar ini sangat membenci orang-orang Nashrani dan mengejar pengikut ajaran nabi Isa. Pendeta Valentine ini dibunuh karena melanggar peraturan yang dibuat oleh sang Kaisar, yaitu melarang para pemuda untuk menikah, karena pemuda lajang dapat dijadikan tentara yang lebih baik daripada tentara yang telah menikah. Valentine sebagai pendeta, sedih melihat pemuda yang mabuk asmara. Akhirnya dengan penuh keberanian, ia melanggar perintah sang Kaisar. Dengan diam-diam ia menikahkan sepasang anak muda. Pendeta Valentine berusaha menolong pasangan yang sedang jatuh cinta dan ingin membentuk keluarga. Pasangan yang ingin menikah lalu diberkati di tempat yang tersembunyi. Namun rupanya, sang Kaisar mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh pendeta tersebut, dan kaisar sangat tersinggung hingga sang Pendeta diberi hukuman penggal oleh Kaisar Romawi yang bergelar Cladius II. Sejak kematian Valentine, kisahnya menyebar dan meluas, hingga tidak satu pelosok pun di daerah Roma yang tak mendengar kisah hidup dan kematiannya. Kakek dan nenek mendongengkan cerita Santo Valentine pada anak dan cucunya sampai pada tingkat pengkultusan !!

Ketika agama Katolik mulai berkembang, para pemimipin gereja ingin turut andil dalam peran tersebut. Untuk mensiasatinya, mereka mencari tokoh baru sebagai pengganti Dewa Kasih Sayang, Lupercus. Akhirnya mereka menemukan pengganti Lupercus, yaitu Santo Valentine.

Di tahun 494 M, Paus Gelasius I mengubah upacara Lupercaria yang dilaksanakan setiap 15 Februari menjadi perayaan resmi pihak gereja. Dua tahun kemudian, sang Paus mengganti tanggal perayaan tersebut menjadi 14 Februari yang bertepatan dengan tanggal matinya Santo Valentine sebagai bentuk penghormatan dan pengkultusan kepada Santo Valentine. Dengan demikian perayaan Lupercaria sudah tidak ada lagi dan diganti dengan "Valentine Days"

Sesuai perkembangannya, Hari Kasih Sayang tersebut menjadi semacam rutinitas ritual bagi kaum gereja untuk dirayakan. Biar tidak kelihatan formal, mereka membungkusnya dengan hiburan atau pesta-pesta.

* Hukum Islam tentang Perayaan Valentine Days
Dalam Islam memang disyari’atkan berkasih sayang kepada sesama muslim, namun semuanya berada dalam batas-batas dan ketentuan Allah -Ta’ala- . Betapa banyak kita dapatkan para pemuda dan pemudi dari kalangan kaum muslimin yang masih jahil (bodoh) tentang permasalahan ini. Lebih parah lagi, ada sebagian orang yang tidak mau peduli dan hanya menuruti hawa nafsunya. Padahal perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine Days) haram dari beberapa segi berikut :

* Tasyabbuh dengan Orang-orang Kafir
Hari raya –seperti, Valentine Days- merupakan ciri khas, dan manhaj (metode) orang-orang kafir yang harus dijauhi. Seorang muslim tak boleh menyerupai mereka dalam merayakan hari itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata, "Tak ada bedanya antara mengikuti mereka dalam hari raya, dan mengikuti mereka dalam seluruh manhaj (metode beragama), karena mencocoki mereka dalam seluruh hari raya berarti mencocoki mereka dalam kekufuran. Mencocoki mereka dalam sebagaian hari raya berarti mencocoki mereka dalam sebagian cabang-cabang kekufuran. Bahkan hari raya adalah ciri khas yang paling khusus di antara syari’at-syari’at (agama-agama), dan syi’ar yang paling nampak baginya. Maka mencocoki mereka dalam hari raya berarti mencocoki mereka dalam syari’at kekufuran yang paling khusus, dan syi’ar yang paling nampak. Tak ragu lagi bahwa mencocoki mereka dalam hal ini terkadang berakhir kepada kekufuran secara global".[Lihat Al-Iqtidho’ (hal.186)].

Ikut merayakan Valentine Days termasuk bentuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir. Rasululllah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut". [HR. Abu Daud dalam Sunan-nya (4031) dan Ahmad dalam Al-Musnad (5114, 5115, & 5667), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (19401 & 33016), Al-Baihaqiy dalam Syu’ab Al-Iman (1199), Ath-Thobroniy dalam Musnad Asy-Syamiyyin (216), Al-Qudho’iy dalam Musnad Asy-Syihab (390), dan Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhob (848). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Musykilah Al-Faqr (24)].

Seorang Ulama Mesir, Syaikh Ali Mahfuzh-rahimahullah- berkata dalam mengunkapkan kesedihan dan pengingkarannya terhadap keadaan kaum muslimin di zamannya, "Diantara perkara yang menimpa kaum muslimin (baik orang awam, maupun orang khusus) adalah menyertai (menyamai) Ahlul Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi, dan Nashrani dalam kebanyakan perayaan-perayaan mereka, seperti halnya menganggap baik kebanyakan dari kebiasaan-kebiasaan mereka. Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu membenci untuk menyanai Ahlul Kitab dalam segala urusan mereka…Perhatikan sikap Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- seperti ini dibandingkan sesuatu yang terjadi pada manusia di hari ini berupa adanya perhatian mereka terhadap perayaan-perayaan, dan adat kebiasaan orang kafir. Kalian akan melihat ,ereka rela meninggalkan pekerjaan mereka berupa industri, niaga, dan sibuk dengan ilmu di musim-musim perayaan itu, dan menjadikannya hari bahagia, dan hari libur; mereka bermurah hati kepada keluarganya, memakai pakaian yang terindah, dan menyemir rambut anaka-anak mereka di hari itu dengan warna putih sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi, dan Nashrani. Perbuatan ini dan yang semisalnya merupakan bukti kebenaran sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits shohih, "Kalian akan benar-benar mengikuti jalan hidup orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga andai mereka memasuki lubang biawak, maka kalian pun mengikuti mereka". Kami (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah mereka adalah orang-orang Yahudi, dan Nashrani". Beliau menjawab, "Siapa lagi kalau bukan mereka". [HR. Al-Bukhoriy (3456) dari Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu ‘anhu-]".[Lihat Al-Ibda’ fi Madhorril Ibtida’ (hal. 254-255)]

Namun disayangkan, sebagian kaum muslimin berlomba-lomba dan berbangga dengan perayaan Valentine Days. Di hari itu, mereka saling berbagi hadiah mulai dari coklat, bunga hingga lebih dari itu kepada pasangannya masing-masing. Padahal perayaan seperti ini tak boleh dirayakan. Kita cuma punya dua hari raya dalam Islam. Selain itu, terlarang !!.

* Pengantar Menuju Maksiat dan Zina
Acara Valentine Days mengantarkan seseorang kepada bentuk maksiat dan yang paling besarnya adalah bentuk perzinaan. Bukankah momen seperti ini (ValentineDays) digunakan untuk meluapkan perasaan cinta kepada sang kekasih, baik dengan cara memberikan hadiah, menghabiskan waktu hanya berdua saja? Bahkan terkadang sampai kepada jenjang perzinaan.

Allah -Subhanahu wa Ta’la- berfirman dalam melarang zina dan pengantarnya (seperti, pacaran, berduaan, berpegangan, berpandangan, dan lainnya),

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk". (QS. Al-Isra’ : 32)

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَايَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ

"Jangan sekali-sekali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4935), dan Muslim dalam Shohih-nya (1241)] .

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يِمَسَّ امْرَأَةً لَاتَحِلُّ لَهُ

"Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya". [HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (486). Di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah (226)]

* Menciptakan Hari Rari Raya
Merayakan Velentine Days berarti menjadikan hari itu sebagai hari raya. Padahal seseorang dalam menetapkan suatu hari sebagai hari raya, ia membutuhkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena menetapkan hari raya yang tidak ada dalilnya merupakan perkara baru yang tercela. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak” [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih -nya (2697)dan Muslim dalam Shahih -nya (1718)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. [HR. Muslim dalam Shahih -nya (1718)]

Allah -Ta’ala- telah menyempurnakan agama Islam. Segala perkara telah diatur, dan disyari’atkan oleh Allah. Jadi, tak sesuatu yang yang baik, kecuali telah dijelaskan oleh Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian pula, tak ada sesuatu yang buruk, kecuali telah diterangkan dalam Islam. Inilah kesempurnaan Islam yang dinyatakan dalam firman-Nya,

"Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu". (QS.Al-Maidah :3 ).

Di dalam agama kita yang sempurna ini, hanya tercatat dua hari raya, yaitu: Idul Fitri dan Idul Adha. Karenanya, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengingkari dua hari raya yang pernah dilakukan oleh orang-orang Madinah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada para sahabat Anshor,
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِيْ الجَاهِلِيَةِ وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ النَّحَرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

“Saya datang kepada kalian, sedang kalian memiliki dua hari, kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyyah. Allah sungguh telah menggantikannya dengan hari yang lebih baik darinya, yaitu: hari Nahr (baca: iedul Adh-ha), dan hari fithr (baca: iedul fatri)”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1134), An-Nasa`iy dalam Sunan-nya (3/179), Ahmad dalam Al-Musnad (3/103. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (1134)] .

Syaikh Amer bin Abdul Mun’im Salim-hafizhahullah- berkata saat mengomentari hadits ini, "Jadi, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang mereka -dalam bentuk pengharaman- dari perayaan-perayaan jahiliyyah yang dikenal di sisi mereka sebelum datangnya Islam, dan beliau menetapkan bagi mereka dua hari raya yang sya’i, yaitu hari raya Idul Fithri, dan hari raya Idul Adh-ha. Beliau juga menjelaskan kepada mereka keutamaan dua hari raya ini dibandingkan peryaan-perayaan lain yang terdahulu ".[Lihat As-Sunan wa Al-Mubtada’at fi Al-Ibadat (hal.136), cet. Maktabah Ibad Ar-Rahman, 1425 H]

Sungguh perkara yang sangat menyedihkan, justru perayaan ini sudah menjadi hari yang dinanti-nanti oleh sebagian kaum muslimin terutama kawula muda. Parahnya lagi, perayaan Valentine Days ini adalah untuk memperingati kematian orang kafir (yaitu Santo Valentine). Perkara seperti ini tidak boleh, karena menjadi sebab seorang muslim mencintai orang kafir.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 51 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

(Dikutip dari http://almakassari.com/?p=231#more-231, judul asli "Menyorot Perayaan Valentine’s Day")

Senin, 09 Februari 2009

Kapan sebuah hadits dikatakan sebagai hadits shahih?

Hadits ada yang shahih dan ada yang daif. Kriteria apa saja sehingga sebuah hadits dapat dikatakan sebagai hadits yang shahih? Berikut ulasan singkat


Untuk mengetahui apakah sebuah hadits merupakan hadits shahih atau hadits daif diperlukan sebuah ilmu yang dikenal dengan ilmu mustholah hadits. Banyak kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama ahli hadits yang membahas tentang ilmu mustholah hadits ini.

Untuk menyederhanakan pembahasan agama, sering yang kita baca atau dengar dari sebuah hadits hanya matan/isi dari sebuah hadits, padahal sebenarnya para ulama ahli hadits meriwayatkan tidak hanya matan/isi akan tetapi juga sanad/periwayatan (urutan periwayatan hadits dari Rasulullah saw atau sahabat sampai kepada para ulama penulis hadits). Jadi dalam teks hadits yang lengkap terdiri dari 2 bagian:
Sanad/periwayatan
Matan/isi
Dr. Mahmud Thahan dalam kitab beliau, Taisir Musthalah Hadits menjelaskan sarat-sarat sebuah hadits dihukumi sebagai hadits shahih.

Sanadnya tersambung, artinya setiap rawi mengambil haditsnya secara langsung dari orang di atasnya, dari awal sanad hingga akhir sanad

Adilnya para perawi, yaitu setiap periwayat harus: muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan tidak buruk tingkah lakunya

Dlabith, yaitu setiap rawi harus sempurna daya ingatnya, baik dalam hafalan atau catatan.

Tidak syadz, yaitu tidak menyilisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah

Tidak ada illat, yakni haditsnya tidak cacat.

Sebagai contoh, sebuah hadits dalam Shahih Bukhari

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ


Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, yang berkata telah mengkabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jabir bin Muth’im, dari bapaknya, yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw membaca surat At-Thur di waktu shalat maghrib” (HR. Bukhari, No 731)

Hadits diatas dihukumi sebagai hadits shahih karena:

Sanadnya tersambung, sebab masing-masing periwayat yang meriwayatkan telah mendengar haditsnya dari syaikhnya (gurunya). Sedangkan adanya 'an'anah yaitu Malik, Ibnu Syihab dan Ibnu Jabir termasuk bersambung karena mereka bukan mudallis

Para periwayat hadits diatas semuanya adil dan dlabith. Kriteria mengenai mereka (para perawi hadits) telah ditentukan oleh para ulama Jarh wa Ta’dhil, yaitu:
-Abdullah bin Yusuf: orangnya tsiqah (terpercaya) dan mutqin (cermat)
-Malik bin Anas: Imam sekaligus hafidz
-Ibnu Syihab Az-Zuhri: orangnya faqih, hafidz, disepakati tentang ketinggian kedudukan dan kecermatannya
-Muhammad bin Jabir: tsiqah
-Jabir bin Muth’im: sahabat

Tidak syad, karena tidak bertentangan dengan perawi yang lebih kuat

Tidak ada illat (cacat) dalam hadits diatas
Untuk mengetahui keadilan dan kedlabithan para perawi dengan cara meneliti biografi mereka. Para ulama telah menulis biografi para perawi dalam kitab yang banyak, diantara kitab-kitab yang memuat biografi para perawi hadits yaitu:
Tarikh Kabir, karya Imam Bukhari. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang dhaif

Al-Jarh wa ta’dhil karya Ibnu Abi Hatim. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang dhaif

Al-Kamil fi Asmair Rijal karya Abdul Ghani. Kitab ini membahas perawi hadits yang terdapat dalam kitab Kutubus Sittah

Dan lain-lain

Ilmu Mustholah hadits hanya ada dalam agama Islam sehingga ajaran Islam dapat dijamin keasliannya secara ilmiah, alhamdulillah

Mudah-mudahan penjelasan ini tidak memuaskan sehingga pembaca semakin bersemangat untuk mengkaji lebih dalam

Referensi
Taisir Musthalahal Hadits, karya Dr. Mahmud Thahan
http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=9&book=2752

SYARAT SUATU AMALAN DIKATAKAN MENCOCOKI SUNNAH

Suatu amalan akan diterima jika ikhlas dan sesuai Sunnah. Berikut rincian suatu ibadah dikatakan sesuai sunnah.


Ketahuilah bahwa mutaba'ah tidak akan terwujud apabila amalan tersebut tidak sesuai dengan syari'at dalam enam hal:
1. Sebabnya
2. Jenisnya
3. Ukurannya
4. Teknisnya
5. Waktunya
6. Tempatnya

Apabila tidak sesuai dengan syari'at dalam enam hal ini, maka amalan tersebut dikatakan bathil dan tertolak, sebab ia melakukan suatu hal dalam agama Allah yang tidak ada sandaran darinya.

1. Sebabnya
Amalan harus sesuai dengan syari'at dalam sebabnya. Hal itu seperti seseorang melakukan ibadah dengan yang tidak pernah Allah sebutkan, misalkan; dia shalat dua raka'at setiap kali memasuki rumahnya dan menjadikan hal ini sebagai perbuatan Sunnah. Seperti ini tertolak. Walaupun perkara shalat pada dasarnya disyari'atkan, tetapi ketika ia kaitkan dengan sebab yang tidak bersumber dari syar'at, maka hal ini mengakibatkan ibadah tersebut tertolak. Contoh yang lain: apabila seseorang membuat perayaan dengan sebab kemenangan kaum Muslimin pada Badar, maka hal ini pun tertolak, sebab ia mengaitkannya sebab yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

2. Jenisnya
Bila seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah tidak pernah disyari'atkan agama dalam hal jenisnya, maka tidak akan diterima. Sebagai contoh: bila seseorang berkurban dengan kuda, maka hal ini tertolak, sebab menyelisihi perintah syariat dalam hal jenis, dimana syar'at Islam memerintahkan harus dari jenis binatang ternak tertentu, yaitu: unta, sapi dan kambing. Adapun seseorang yang memotong kuda dengan niat mensadaqahkan dagingnya maka hal itu diperbolehkan, sebab ia tidak dikatakan berkurban kepada Allah dengan menyembelihnya, hanya menyembelihnya untuk dishadaqahkan dagingnya.

3. Ukurannya
Apabila seseorang beribadah kepada Allah dengan ukuran yang lebih dari ukuran yang telah ditentukan syari'at maka hal itu tidak diterima. Sebagai contoh: bila seseorang berwudhu' dengan membasuh setiap bagian sebanyak empat kali, maka yang keempat tertolak, sebab hal itu melebihi ketentuan syari'at. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam berwudhu' tiga kali-tiga kali, lalu beliau bersabda:
مَنْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ
“Barangsiapa yang melebihkannya, maka ia telah berbuat jelek, melampaui batas dan berbuat kezhaliman (HR. Ahmad, An-Nasaai, Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)


4. Sesuai teknisnya
Apabila seseorang mengamalkan sesuatu dalam rangka beribadah kepada-Nya tetapi menyelisihi syari'at dalam hal teknisnya, maka tidak akan diterima, dan hal itu tertolak. Contoh: seseorang shalat, ia langsung bersujud sebelum melakukan ruku', maka shalatnya tidak sah dan tertolak, sebab tidak sesuai dengan teknis tuntunan syari'at. Demikian pula dalam hal wudhu' dengan cara berbalik seperti memulai dengan membasuh kaki sebelum mengusap kepala setelah itu membasuh tangan lalu muka, apabila berwudhu' dengan teknis seperti ini maka tidak sah, sebab tidak mengikuti perintah syari'at dalam hal teknis atau tata-caranya.

5. Sesuai dengan syari'at dalam hal waktunya.
Bila seseorang shalat sebelum masuk waktunya, maka shalatnya tidak mungkin diterima sebab ia menyelisihi waktu yang telah ditentukan syari'at. Juga bila menyembelih kurban sebelum mengadakan shalat `Id, inipun tertolak, sebab menyelisihi waktu yang telah ditentukan syari'at. Apabila seseorang beri'tikaf pada selain waktunya, maka hal itu tidak sesuai dengan pedomannya, namun hal ini diperbolehkan sebab Rasulullah ', membolehkan `Umar bin al-Khaththab beri'tikaf di Masjidil Haram ketika beliau bernadzar. Apabila seseorang mengakhirkan suatu ibadah yang telah ditentukan waktunya oleh syari'at tanpa adanya alasan yang dibenarkan, seperti shalat Shubuh setelah terbit matahari tanpa udzur, maka (dengan sikap seperti ini) shalatnya tertolak, sebab ia telah beramal dengan amalan yang tidak bersumber dari Allah dan Rasul-Nya.

6. Sesuai dalam ketentuan
Apabila seseorang beri'tikaf di sekolah atau di rumah, bukan di mesjid, maka amalannya ini tidak sah, sebab tidak sesuai dengan tuntunan syari'at dalam ketentuan tempatnya, di mana ibadah I'tikaf harus dilakukan di masjid.

Maka perhatikanlah keenam hal di atas dan wujudkanlah dalam setiap yang diwajibkan kepadamu. Berikut ini beberapa permisalan di antara perkara yang tertolak sebab menyelisihi ketentuan Allah dan Rasul-Nya:

Contoh 1.
Orang yang berjual beli setelah adzan kedua pada hari Jum'at dan ia termasuk golongan yang diwajibkan menghadiri shalat jum'at, maka akad transaksinya tidak sah, sebab ia menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan apabila hal ini terjadi maka wajib dibatalkan, masing-masing mengembalikan uang dan barangnya. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat bahwa ketika Rasulullah saw dikabarkan bahwa kurma yang baik sebanyak satu sha' ditukar dengan dua sha' (yang jelek), dua sha' dengan tiga sha'. Seketika Rasulullah bersabda: Kembalikan! Artinya kembalikan barang dagangannya, sebab telah menyelisihi ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Contoh 2.
Seseorang wanita menikahkan dirinya tanpa adanya wali, maka pernikahannya pun tidak sah, sebab Rasulullah saw bersabda: Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali

Contoh 3.
Seseorang yang mentalak isterinya dalam keadaan haid, apakah talaknya dianggap atau tidak? Jawab: dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Tatkala seseorang mengatakan kepada Imam Ahmad rahimahullah, pendapat bahwa talak ketika
sang isteri sedang haid dibolehkan (terjadi), seketika beliau berkata Itu pendapat jelek. Inilah perkataan Imam Ahmad rahimahullah yang ilmunya sangat piawai dalam hadits dan fiqih, beliau mengingkari perkataan tersebut. Demikian pula sebagian ulama ada yang mengingkari pendapat bahwa talak di saat haidh tidak terjadi, mereka berpendapat sebaliknya, yakni bahwa hal itu terjadi dan dianggap talak satu. Namun ada juga yang berpendapat bahwa hal itu tidak terjadi, srperti pendapatnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, walhasil ini termasuk masalah khilafiyyah (diperselisihkan).
Saya menyebutkannya di sini dengan maksud jangan sampai orang-orang gampang menfatwakan tidak menganggap terjadinya talak diwaktu haid, bahkan kalian harus memberlakukan hukum tersebut kepada mereka sebagaimana mereka sengaja melakukannya. Meskipun talak dengan lafazh tiga kali dengan satu ucapan, pada masa Rasulullah saw, Abu Bakar, dan dua tahun masa pemerintahan `Umar dihitung satu kali. Namun ketika manusia berani (menyepelekan) perkara yang haram, maka `Umar radhiallahu’anhu.menghukumi mereka dengan menjatuhkannya (menganggapnya tiga kali), seraya beliau berkata: Engkau tidak boleh kembali kepada isterimu, sebab kamu sendiri yang menyengaja menceraikannya tiga kali. Saya pun setuju dengan pendapat ini (dianggap terjadi), sebab kebanyakan manusia sekarang suka mempermainkannya, di saat orang awam datang dan mengatakan bahwa dirinya telah menceraikan isterinya dalam keadaan haidh sejak sepuluh tahun yang lalu, dan Anda katakan padanya; Hal itu dianggap terjadi, lantas ia berkata padamu: Itu hanya talak di waktu haid dan dianggap talak bid'ah. Orang ini mengatakan demikian padahal dirinya awam. la tidak tahu mana pergelangan tangan di antara kumpulan manusia (ungkapan yang menunjukkan kebodohannya), dan ia mengatakan demikian sebab hawa nafsunya.
Apakah mungkin kita fatwakan bahwa talak Anda tidak terjadi?! Jawab: Tidak mungkin kita lakukan demikian, sebab di pundak kita pertanggungjawaban yang sangat agung di hari Kiamat kelak. Bahkan kita katakan padanya: Anda telah mewajibkan diri Anda, maka hal itu harus Anda ikuti. Bagaimana menurutmu apabila isterimu telah habis masa `iddahnya dari penceraian itu dan ia menikah dengan laki-laki lain, apakah kamu akan mendatangi suami barunya dan berkata: `Perempuan ini isteri saya?!!' Tentu Anda tidak akan berkata seperti ini. Maka apabila dia berpendapat bahwa talak tiga itu berlaku (seperti pendapat kami), maka tentunya ia tidak akan membuka pintu (thalak) ini (untuk dipermainkan).
Walhasil, talak dalam keadaan haidh mayoritas ulama menyatakannya berlaku. Dan pendapat yang mengatakan sebaliknya, Imam Ahmad mengomentarinya dengan perkataan beliau: Ini pendapat yang buruk, artinya tidak pantas untuk dijadikan pedoman.

Contoh 4.
Seseorang menjual satu uqiyah (ukuran) emas dengan satu setengah uqiyah, maka yang seperti ini dikatakan jual beli yang bathil (tidak sah), sebab Rasulullah saw bersabda:
Jangan kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan ukuran dan berat yang sama
(HR. Bukhari, Muslim)

Contoh 5.
Seseorang shalat dengan mengenakan baju curian. Mayoritas ulama mengatakan: shalatnya sah, sebab larangan di sini tidak berkaitan dengan shalat tetapi larangannya hanya tentang mencuri baju. Apakah baju itu dipakai untuk shalat atau tidak, maka tidak berkaitan dengan shalat. Nabi saw sendiri tidak mengatakan: Janganlah kalian shalat dengan mengenakan baju curian. Beliau hanya melarang mencuri dan mengharamkannya dan tidak mengaitkannya dengan masalah shalat.

Contoh 6
Seseorang shalat sunnah tanpa adanya alasan pada saat waktu larangan shalat, maka amalannya ini tertolak sebab hal itu terlarang baginya.

Contoh 7.
Seseorang puasa pada hari raya `Idul Fithri, maka puasanya tertolak sebab ia melakukannya pada waktu larangan baginya.

Contoh 8.
Seseorang berwudhu' dengan air curian, maka hal itu tetap sah, sebab larangan di sini berkenaan dengan mencuri air. tidak berkenaan langsung dengan wudhu' dengan air tersebut. Apabila larangan dimaksud berkenaan dengan wujud ibadah itu sendiri, maka ibadah ini tidak sah. Tetapi bila larangan ini bersifat umum, maka hal itu tidak berkait dengan sah atau tidaknya suatu ibadah.

Contoh 9
Seseorang mencurangi temannya dengan cara menipunya dalam hal jual beli, maka hasil jual belinya tetap dikatakan sah, sebab larangan di sini hanya berkisar tentang tipu-menipu. Apabila orang yang tertipu ini menerima hasil jual belinya, maka hal itu tetap dikatakan sah. Rasulullah saw bersabda:

Janganlah kalian menghadang al jalab (sebelum sampai ke pasar). Apabila kalian menemui (jalab) dan membeli sesuatu darinya, kemudian majikannya (orang kampung yang membawa jalab itu) mendatangi pasar, maka harus dilakukan pilihan (tawar menawar) kembali. (HR. Muslim)

Al jalab adalah barang-barang yang dibawa oleh orang Arab perkampungan berupa hewan ternak, bahan makanan dan selainnya, [di mana mereka tidak mengetahui harga pasaran dari barangbarang dagangannya]. Dalam hal ini Rasulullah tidak mengatakan: Maka jual belinya bathil (tidak sah), bahkan telah sah, namun orang yang dihadangnya (orang kampung itu) berhak untuk mengadakan tawar-menawar harga lagi, karena ia menjadi pihak yang telah dirugikan.

Harus dibedakan antara larangan yang berkaitan dengan wujud suatu amalan dengan sesuatu yang tidak berkaitan dengannya. Apabila berkaitan dengan wujudnya, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tertolak (tidak benar), sebab jika Anda memaksanya menganggap benar, berarti Anda menentang Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika berkait dengan sesuatu di luar amalan, maka amalan tersebut tetap dikatakan shahih, dan dosa dalam amalan yang Anda amalkan (berupa menipu atau mencuri) adalah diharamkan (dengan dalil tersendiri).

Contoh 10.
Seseorang berhaji dengan harta curian, misalkan dengan mencuri unta kemudian berhaji dengan hasil penjualannya. Hajinya tetap shahih, dan inilah pendapat mayoritas ulama, akan tetapi dirinya berdosa dengan mencuri unta tersebut, atau dengan mencuri mobil misalkan. Sebab perbuatan mencuri ini ada di luar ibadah tersebut. Bukti (bahwa biaya haji itu di luar ibadah hajinya), ialah terkadang ada seseorang yang berhaji tanpa mengunakan biaya kendaraan. Sebagian ulama menghukuminya dengan tidak shahih, dan keputusan mereka ini dilantunkan dalam satu bait syair:

إذا حججتَ بمالٍ أصلُهُ سُحْتٌ
ضفما حججتَ ولكنْ حجَّتِ العيرُ

Jika kamu berhaji dengan harta yang asalnya dosa (haram)
Maka kamu tidak berhaji, akan tetapi untanyalah yang berhaji.

Dalam riwayat Muslim:Siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang-bukan urusan (agama) kami, maka hal itu tertolak. Dalam riwayat ini tersurat bahwa apabila dalam suatu amalan tidak berlandaskan pada perintah Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu secara pasti akan tertolak. Dalam masalah ibadah, tanpa diragukan lagi ketentuan ini berlaku, sebab perkara ibadah berpatokan pada prinsip yang baku (bahwa pada asalnya dilarang), hingga adanya dalil yang menjadikannya disyari'atkan.

Jika ada seseorang mengadakan satu bentuk peribadatan kepada Allah Ta'ala, lalu orang lain mengingkarinya, kemudian ia balik bertanya: Apa dalilmu kalau hal itu perbuatan haram? Sanggahan seperti ini jelas mungkarnya. Maka pengingkar harus berkata: Dalilnya adalah bahwa pada dasarnya ibadah itu hukumnya terlarang, hingga adanya dalil yang mensyari'atkannya. Adapun pada selain ibadah (mu'amalah), hukum asalnya adalah boleh (selama tidak ada dalil yang melarangnya), baik yang berkaitan dengan pelakunya maupun perbuatannya, karena pada dasarnya berhukum halal/boleh.

Contoh pelaku (perbuatan selain ibadah), misalnya: seseorang memburu burung untuk memakannya, lalu orang lain mengingkarinya. Kemudian ia menyanggah: Apa dalil keharamannya? Sanggahan dia benar, sebab asal hukum berburu burung adalah halal, berdasarkan firman Allah Ta'ala:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. (QS. Al-Baqarah: 29)

Contoh perbuatan pada selain ibadah yang hukum asalnya halal: si A mengerjakan sesuatu di rumahnya atau pada mobilnya, pakaiannya atau apa saja yang berkaitan dengan perkara dunia, kemudian si B mengingkarinya. Lalu si A menyanggah dan bertanya: Apa dalilmu mengharamkan perbuatan saya? Ucapanya A dibenarkan sebab asal perbuatannya dihalalkan.

Inilah 2 kaidah yang sangat penting dan bermanfaat (yaitu bahwa ibadah itu hukum asalnya dilarang, sampai ada dalil yang melegalkannya. Sebaliknya, muamalah itu pada asalnya diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya.

Atas dasar ini, dalam masalah ibadah kita harus memperhatikan tiga kesimpulan
1. Apa yang kita ketahui bahwa syariat membolehkan suatu ibadah, maka itu berarti disyariatkan
2. Apa yang kita ketahui bahwa syariat melarangnya, maka berarti hal itu terlarang
3. Apa yang tidak kita ketahui bahwa suatu hal tidak termasuk ibadah, maka hal itu terlarang

Adapun dalam masalah muamalah, kitapun harus memperhatikan 3 tiga kesimpulan
1. Apa yang kita ketahui bahwa syariat membolehkannya, maka hal itu berarti boleh, seperti amalan Rasulullah saw memakan keledai liar
2. Apa yang kita ketahui bahwa syariat melarangnya, maka hal itu berarti dilarang
3. Dan apa yang tidak kita ketahui ketentuan hukumnya, maka hal itu berarti dibolehkan, sebab hukum asal pada selain ibadah adalah boleh.

Syarh Arbain Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


©copyleft 2001-2006 Perpustakaan-Islam.Com

Kapan berdoa dengan mengangkat tangan?

Hukum berdoa pada asalnya dengan mengangkat tangan, akan tetapi disana ada beberapa pengecualian. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan dalam Syarh Arba’in Nawawiyah


Hukum berdoa pada asalnya dengan mengangkat tangan, akan tetapi disana ada beberapa pengecualian. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan dalam Syarh Arba’in Nawawiyah

Mengangkat tangan dalam berdoa dibagi kepada tiga keadaan.

1. Riwayat menyebutkan bahwa beliau mengangkat kedua tangannya.
2. Riwayat menyebutkan bahwa beliau tidak mengangkat kedua tangannya.
3. Riwayat tidak menyebutkan keduanya.

Contoh keadaan pertama:
Jika sang khatib berdo'a ketika shalat Istisqa' (meminta hujan) atau istish-ha, maka dalam keadaan ini ia dibolehkan mengangkat kedua tangannya, demikian juga para makmum. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, yaitu kisah seorang Arab dusun (A'rabi). Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam khutbah Jum'at, ia meminta kepada beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk dimintakan kepada Allah hujan, lalu beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdo'a, demikian pula para Sahabat ridwanullahu ajma’in, mengangkat tangan mereka seraya berdo'a bersamanya (HR. Bukhari, HR. Muslim)

Hadits lain menunjukkan dibolehkannya hal ini dalam Qunut Nazilah (karena terjadi perkara yang genting), atau ketika shalat sunnah Witir, juga ketika berada di Shafa dan Marwah, ketika di padang `Arafah, dan saat yang lainnya (berdasarkan riwayat dari beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam), dan perkara ini jelas adanya.

Contoh keadaan kedua:
Riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a, yaitu ketika khutbah jum'at selain khutbah Istisqa' dan Istish-ha. Jika seorang khatib jum'at berdo'a untuk kebaikan kaum muslimin dan muslimah atau kemenangan para mujahidin, maka ia tidak mengangkat ke dua tangannya. Jika ada khatib yang mengangkatnya ketika ia berdo'a, niscaya saya akan mengingkarinya, karena dalam Shahiih Muslim diriwayatkandari `Umarah bin Ru-aibah, bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya ketika di atas mimbar, lalu ia (`Umarah) berkata kepadanya:

قبح الله هاتين اليدين،لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ما يزيد أن يقول بيده هكذا.وأشار بإصبعه المسبحة

Semoga Allah memburukkan kedua tanganmu ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan tatkala sedang berdo'a selain seperti ini, sambil mengangkat jari telunjuknya (HR. Muslim)

Demikian pula ketika berdo'a dalam shalat, seperti di antara dua sujud, setelah tasyahhud akhir, dan selainnya. Hal ini pun perkaranya jelas.
Contoh keadaan ketiga:
Yakni riwayat yang tidak menyebutkan apakah mengangkat kedua tangan atau tidak. Hukum asal dalam masalah ini adalah dengan mengangkat kedua tangan, karena ia termasuk di antara adab dan sebab dikabulkannya do'a. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِيْ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهَ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرَاً

Sesungguhnya Allah Ta'ala memiliki sifat malu dan Maha pemberi karunia, Dia malu dari hamba-Nya tatkala sang hamba (berdo'a) mengangkat kedua tangannya (ke langit) jika keduanya dikembalikan dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan) (HR. Ahmad, Al-Hakim, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam Shahihul Jami no,1757)

Akan tetapi didapati keadaan-keadaan di mana ditegaskan tidak mengangkat kedua tangan ketika berdo'a, seperti ketika duduk di antara dua khutbah (Jum'at). Dalam hal ini kita tidak mengetahui satu Sahabat pun yang mengangkat tangan di saat seperti ini. Banyak pendapat (pandangan) tentang mengangkat tangan di saat seperti ini. Orang yang mengangkatnya dengan dalil bahwa hukum asal berdo'a adalah dengan mengangkat kedua tangan, maka hal itu tidak diingkari. Dan orang yang tidak mengangkatnya dengan alasan para Sahabat tidak pernah melakukannya, maka hal ini pun tidak diingkari. Intinya, dalam perkara seperti ini terdapat keleluasaan, insya Allah.