Kamis, 05 Februari 2009

Shalawat kepada Nabi; antara yang Masyru’ dan Bid’ah
Posted by Abah Zacky as-Samarani under aqidah


إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Allah telah mengutus nabi Muhammad dan telah memberinya kekhususan dan kemuliaan untuk menyampaikan risalah. Ia telah menjadikannya rahmat bagi seluruh alam dan pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa serta menjadikannya orang yang dapat memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Maka seorang hamba harus taat kepadanya, menghormati dan melaksanakan hak-haknya.

Dengan segala jasa beliau kepada umat manusia, lalu Allah menyebutkan tindakan yang pantas untuk dilakukan kepada belliau, yakni mengucapkan shalawat. Allah swt berfirman:

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Banyak pendapat tentang pengertian Sholawat untuk nabi sollallohu ‘alaihi wa sallam, dan yang benar adalah seperti apa yang dikatakan oleh Abul Aliyah: “Sesungguhnya Sholawat dari Allah itu adalah berupa pujian bagi orang yang bersholawat untuk beliau di sisi malaikat-malaikat yang dekat” -Imam Bukhari meriwayatkannya dalam Shohihnya dengan komentar yang kuat- Dan ini adalah mengkhususkan dari rahmat-Nya yang bersifat umum. Pendapat ini diperkuat oleh syekh Muhammad bin ‘Utsaimin.

Salam: Artinya keselamatan dari segala kekurangan dan bahaya, karena dengan merangkaikan salam itu dengan sholawat maka kitapun mendapatkan apa yang kita inginkan dan terhapuslah apa yang kita takutkan. Jadi dengan salam maka apa yang kita takutkan menjadi hilang dan bersih dari kekurangan dan dengan sholawat maka apa yang kita inginkan menjadi terpenuhi dan lebih sempurna.

Hukum BershalawatKepada Nabi saw

Kaidah ushul menyebutkan, asal perintah adalah untuk menunjukkan kewajiban. Dengan adanya kaidah ini, perintah Allah untuk bershalawat di dalam surat al-Ahzab bisa difahami sebagai sebuah kewajiban. Namun di sini para ulama’ berbeda pendapat tentang kapan pelaksanaan kewajiban ini. Ada di antara mereka mengatakan kewajibannya adalah sekali dalam seumur hidup. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa shalawat di dalam tasyahhud adalah wajib. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qodhi Abu Bakar bin Bakir berkata: “Allah swt telah mewajibkan makhluk-Nya untuk bersholawat dan salam untuk nabi-Nya, dan tidak menjadikan itu dalam waktu tertentu saja. Jadi yang wajib adalah hendaklah seseorang memperbanyak sholawat dan salam untuk beliau dan tidak melalaikannya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa perintah di dalam ayat di atas dimaknai dengan sunnah saja.

Saat-Saat Yang Disunnahkan Membaca Sholawat Untuk Nabi saw

Di dalam kitab Jila’ul Afham, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan 40 tempat yang disunnahkan untuk mengucapkan shalawat. Di antaranya adalah sebagai berikut;

1- Sebelum berdoa, sebagaimana disebutkan oleh Fadhalah bin ‘Abid: “Rasulullah sollallohu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang laki-laki berdoa dalam sholatnya, tetapi tidak bersholawat untuk nabi sollallohu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: “Orang ini tergesa-gesa” Lalu beliau memanggil orang tersebut dan bersabda kepadanya dan kepada yang lainnya: “Bila salah seorang di antara kalian sholat (berdoa) maka hendaklah ia memulainya dengan pujian dan sanjungan kepada Allah lalu bersholawat untuk nabi, kemudian berdoa setelah itu dengan apa saja yang ia inginkan.” [H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dan Hakim]

2- Ketika menyebut, mendengar dan menulis nama beliau, berdasarkan kepada sabda Rasulullah saw:

“Celakalah seseorang yang namaku disebutkan di sisinya lalu ia tidak bersholawat untukku.” [H.R. Tirmidzi dan Hakim]

3- Dianjurkan memperbanyak shalawat Nabi pada hari Jum’at, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari ‘Aus bin ‘Aus: “Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya di antara hari-hari yang paling afdhal adalah hari Jum’at, maka perbanyaklah sholawat untukku pada hari itu, karena sholawat kalian akan sampai kepadaku……” [R. Abu Daud, Ahmad dan Hakim]

4- Ketika masuk dan keluar masjid, sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan dari Fatimah ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Bila anda masuk mesjid, maka ucapkanlah: ”Dengan nama Allah, salam untuk Rasulullah, ya Allah sholawatlah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, ampunilah kami dan mudahkanlah bagi kami pintu-pintu rahmat-Mu.” “Dan bila keluar dari mesjid maka ucapkanlah itu, tapi (pada penggalan akhir) diganti dengan: “Dan permudahlah bagi kami pintu-pintu karunia-Mu.” [H.R. Ibnu Majah dan Tirmidzi]

5. Ketika Shalat jenazah

Disyari’atkan bershalawat pada shalat jenazah setelah takbir yang kedua didasarkan atas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Umamah ra, bahwa beliau diberitahu oleh seorang shahabat nabi; Bahwa sunnah di dalam shalat bagi mayat adalah imam bertakbir, kemudian membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) setelah takbir pertama, kemudian bershalawat kepada Nabi saw (Hadis Shahih, diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan yang lainnya)

Cara Bershalawat kepada Rasulullah

Di dalam firman Allah di atas, Allah memerintahkan agar dalam bershalawat diikuti dengan salam, “Bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab: 56) Berdasarkan ayat tersebut yang utama adalah dengan menggandengkan shalawat dan salam, seperti shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah bentuk shalawat dan salam untuk beliau saw secara umum. Maka tidak benar kalau mengucapkan salam kepada Rasulullah saw tanpa diikuti dengan shalawat, atau shalawat tanpa salam, seperti ‘alaihis salam atau allahumma shalli ‘alaih saja.

Selain dalam makna umum, shalawat harus terdiri dari shalawat dan salam, Rasulullah teleh memberikan contoh bacaan shalawat secara khusus, di dalam hadis disebutkan, dari Abi Hamid As-Sa’id -Radhiyallahu ‘Anhu- berkata: “Mereka bertanya: “Ya Rasulullah bagaimana kami bersholawat untukmu? Beliau menjawab: “Katakanlah :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Ya Allah! Berilah sholawat untuk Muhammad, istri-istri dan keturunannya, sebagaimana Engkau memberi sholawat untuk Ibrahim. Berkatilah Muhammad, istri-istri dan keturunannya, sebagaimana Engkau memberkati Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Selain bacaan shalawat tersebut, masih ada beberapa riwayat lain yang menyebutkan bacaan shalawat sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Celaan Bagi Yang Tidak Bersholawat Untuk Nabi.

Mengingat benyaknya jasa Rasul kepada kita, tentu layak kalau kita mendo’akan beliau. Terlebih lagi karena do’a itu bukan untuk beliau sendiri, tetapi untuk kita sendiri. Sebab ketika kita mengucapshalawat, banyak keutamaan yang diberikan kepada kita. Maka orang yang tidak mau mengucap shalawat kepada Nabi saw adalah sebuah tindkan kurang ajar, sekaligus sombong. Setidaknya kekurangajaran itu digambarkan di dalam riwayat dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah saw bersabda: “Orang yang paling bakhil adalah seseorang yang jika namaku disebut ia tidak bersholawat untukku.” [H.R. Nasa’i, Tirmidzi dan Thabaraniy]

Kesalahan yang Berkait dengan Shalawat

Dalam melaksanakan perintah Allah untuk bershalawat kepada nabi Muhammad saw ini, ada beberapa kekeliruan yang biasa dilakukan oleh umat Islam. Di antara kekeliruannya adalah mengkhususkan waktu yang tidak ditentukan oleh Rasulullah untuk bershalawat. Dan ada juga yang membuat bacaan shalawat yang bertentangan dengan kaidah umum dalam Agama Islam. Di antara kekeliruan itu antara lain;

1. Mengkhususkan shalawat pada bular Rabi’ul Awwal. Di bulan Rabi’ul Awwal ini sebagian kaum muslimin mengadakan peringatan atas kelahiran Nabi Muhammad saw. Di antara bentuk peringatan yang dilakukan adalah dengan memperbanyak membaca shalawat dan berzanji. Tindakan ini termasuk ke dalam bid’ah, meskipun pada dasarnya membaca shalawat itu ada perintah dari Allah dan juga sunnah Rasulullah saw. Sebab Alah dan RasulNya tidak pernah menentukan bulan Rabi’ul Awwal sebagai bulan shalawat, sebagaimana yang mereka lakukan. Berbeda halnya dengan hari Jum’at, memang kita diperintahkan untuk meperbanyak bacaan shalawat kepada Rasulullah saw.

2. Membaca shalawat-shalawat bid’ah, bahkan syirik, seperti shalawat Badar dan Shalawat Nariyah.

Shalawat sudah sangat masyhur, bahkan banyak didendangkan di dalam nasyid, yaitu shalatullah salamullah, ‘ala thaha Rasulillah… Kekeliruan shalwat ini adalah bertawasul dengan nabi, bahkan para pahlawan perang Badr. Perhatikanlah bagian dari shalawat itu, “tawassalna bibismillah, wabil hadi Rasulillah, wakulli mujahidilillah biahlil badri yaa Allah” (kami bertawasul dengan Nama Allah, dan juga dengan pembawa hidayah, Rasulullah, dan juga bertawassul dengan seluruh mujahid Allah, dengan para pahlawan badar, Ya Allah..”

Sedangkan shalawat Nariyah, adalah “Allahumma shalli shalatan kamilah….” Kekeliruannya, di dalam shalawat ini disebutkan bahwa Nabi Muhamad adalah pelepas segala problem kehidupan, sebagaimana disebutkan di dalam baitnya, “tanhallu bihil uqad, wa tuqdlo bihil hawa’ij..” (dengannya (Nabi Muhammad saw) segala ikatan akan lepas, dan segala kebutuhan akan dipenuhi)

Shalawat semacam ini bermasalah, tetapi cukup poluler di hamper semua lapisan kaum muslimin di Indonesia hari ini. Ketika ada upaya untuk mengingatkan mereka, maka tiba-tiba mereka marah. Dalam keadaan marah itu lah lalu mereka menuduh orang yang mengingatkan kekeliruan dalam bershalawat sebagai kelompok anti shalawat. Ini adalah sebuah tuduhan yang kelewat batas. Sebab yang ditolak bukan shalawat yang benar, tetapi yang ditolak adalah shalawat yang tidak benar.




6 Tanggapan to “Shalawat kepada Nabi; antara yang Masyru’ dan Bid’ah”
deteksi Says:

Maret 22, 2008 at 11:38 pm
Mengkhususkan shalawat pada bular Rabi’ul Awwal. Di bulan Rabi’ul Awwal ini sebagian kaum muslimin mengadakan peringatan atas kelahiran Nabi Muhammad saw. Di antara bentuk peringatan yang dilakukan adalah dengan memperbanyak membaca shalawat dan berzanji. Tindakan ini termasuk ke dalam bid’ah

mana buktinya kalo ini bid’ah? apakah ada ayat alquran dan hadits yang eksplisit menyatakan demikian? sholawat itu kan sunnah, lalu ketika dibesarkan porsinya untuk memperingati kelahiran nabi, apakah menjadi bid’ah/sesat/neraka?

arti kalimat “mengkhususkan” ini kan hanya membaca sholawat ketika bulan tersebut. sedangkan yang terjadi ini mereka juga membaca sholawat di luar bulan tersebut

tolong berikan penjelasan disertai dalil yang sah. jangan main tuduh sembarangan karena bisa menyesatkan umat islam itu sendiri

juga tentang cap bid’ah/kafir/sesat/neraka yang ditujukan untuk aktifitas lain. kalo mau lurus, lurus sekalian jangan setengah2. mana ada jaman rosul memakai pengeras suara di masjid? mana ada mobil? mana ada masjid berlantai keramik? mana ada wudhu dengan kran? mana ada orang sholat dengan celana dan rompi seperti sekarang? apakah dulu ada gelar LC di belakang nama ustadz seperti marak sekarang ini?

“setiap yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap sesat itu di dalam neraka”

bagaimana anda memahami ini?

tolong jelaskan kepada saya yang masih sangat bingung memahami agama ini

terimakasih
———————
Mulanya tanggapan ini saya kira mau memarahi saya…. tapi akhirnya bertanya. he.. he.. he. Lalu, yang anda maksud agama yang mana??? Ini yang anda maksud agama Islam, atau agama dalam tanda kurung terjemahan anda???

Pertama peringatan maulid itu sendiri adalah bid’ah. sebab tiada hari raya di dalam islam keualli dua saja, idul fitri dan Idul Adha. Dan tidak ada perintah nabi untuk memperingati hari kelahirannya bukan??? Atau Anda mempunyai dalil ayat atau hadis yang memerintahkan agar ummat Islam memperingati hari kelahiran nabi kita tercinta??

Kedua; Soal shalawat yang dikhususkan, maka itu juga bid’ah. Karena perintahnya adalah umum. boleh mengkhususkan selama ada dalil pengkhususannya, seperti yang sudah saya tulis.

Lha yang namanya mengkhususkan, ya apa saja yang dikhususkan. Mengkhususkan bulan Rabi’ul Awwal untuk memperbanyak shalawat. Meskipun yang lain tetap baca. Pengkhususannya itu bid’ah. sama halnya mengkhususkan puasa di hari kelahiran rasul. Atau mengadakan pengajian di hari kelahiran rasul, atau bahkan perayaan keagamaan di hari kelahiran rasul dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ada hadisnya ndak yang menjelaskan kebid’ahannya? Ya jelas karena ndak ada, itulah sebabnya dibilang bid’ah. Kalau ada hadisnya ya ndak dibilang bid’ah to? yang namanya bid’ah itu kan kalau suatu aktifitas peribadatan tidak ada contohnya dari rasul. Juga tidak dikerjakan shahabat di masa Rasul sehingga Rasul tahu lalu mendiamkan. Dan pembatasan bid’ah, adalah seperti hadis yang sudah anda tulis itu.

Bagaimana dengan kran air, mikropone dan mungkin pesawat terbang, apakah itu bid’ah….

Sampeyan itu gimana to. Orang nerjemahin hadisnya saja cukup baik kok, dalam hal ini merasa bingung. Gini saja ada ndak orang naik pesawat ketika berhaji merasa lebih dekat kepada Allah daripada yang naik kuda atau naik onta, atau sebaliknya? Ada ndak orang yang wudlu pakai kran merasa lebih dekat kepada Allah daripada yang pakai gayung? Ada ndak orang yang shalat pakai celana panjang merasa lebih dekat kepada Allah daripada yang shalat pakai sarung? Masjid yang dikeramik pahalanya lebih besar daripada yang tidak? Itu namanya teknis duniawi, atau bahasa ushul fiqihnya adalah persoalan jibillah; alat pendukung ibadah saja.

Dalam urusan agama, semua hal dibagi menjadi tiga macam, qurbah (untuk mendekatkan diri kepada ALLAH), Tha’ah (sebuah amalan biasa yang dilakukan sesuai aturan syari’at, seperti mencari nafkah, mendidik anak dan lain-lain) dan Jibilah (alat). Kalau membaca berzanji kan dianggap sebagai qurbah, maka itu dinamakan bid’ah. Kalau naik mobil, adzan pakai mikropon, masjid dikeramik dan lain-lain kan bukan untuk qurbah (mendekatkan diri kepada Allah), maka bukan bid’ah.

soal makna hadis, insya Allah saya posting tersendiri. ok

Agus Handoko Says:

Maret 26, 2008 at 8:54 am
Pak ustadz, menurut riwayat dari seorang kalifah Salahudin Al Ayubi sebelum menyerang Jerussalem sempat mengadakan Maulid untuk nabi,dengan tujuan menyemangati pasukannya agar mencintai Rosul dan berjihad Fi sabilillah demi agamanya,apakah ini sebuah Bid ah juga? ternyata sang Kalifah memperoleh kemenangan yg luar biasa dan dapat menundukan Jerussalem sepenuhnya….mohon komentarnya pak ustadz

—————-
abah:

Pertama, kadang-kadang riwayat ini dijadikan alasan bahwa asal maulid adalah dari Shalahuddin al-Ayyubi. Saya terus terang tidak tahu kesahihan berita itu, tetapi kalau ini menjadi dasar diamalkannya sesuatu amal tentu tidak benar. Meskipun Shalahuddin mendapatkan kemenangan besar, saya tidak menganggap kemenangan itu ada hubungannya dengan peringatan maulid nabi.

Kedua; Kalau kita lihat realitas yang ada, apa perubahan seseorang dari menghadiri perayaan maulid nabi? Apakah yang semula tidak bersemnagat lalu menjadi bersemangat? apkaah setelah peringatan masjid menjadi ramai? kalau ada peringatan Isra’ mi’raj, Nuzulul Qur’an, Maulid, apa lagi-dan apa lagi gitu. Masjid ya gitu-gitu saja kan? Jadi untuk itu kalaupun shalahuddin melakukan, bukan berarti menjadi alasan bagi kita untuk ikt-ikutan. Sekian terima kasih

Tajudin Says:

Juli 8, 2008 at 2:56 pm
Ibadah tidak lepas dari Qur’an dan Haditd
Kalau memang sholawat merupakan perintah dari al-Qur’an dan hadits, tentu pelaksanaannya tidak boleh lepas dari apa yang telah digariskan oleh Qur’an dan Hadits. Kalau tidak bersandar pada dua sandaran tersebut tidak termasuk ibadah. Setidaknya apabila Rasul telah memberikan ketentuan ada ketentuan lain selain Nabi, pantaskah mengikuti ketentuan yang lain.
Suatu misal, ada seorang yang menghormati Nabi dengan ungkapan yang berlebihan, seperti engkau adalah sayyid anak-anaku, sayyid dari sayyid-sayyid yang ada. Nabi menolak penghormatan yang demikian, hal ini yang menjadikan pengkultusan pada nabi-nabi sebelum aku, sehingga mereka dianggap suci.
begitu kira-kiran andai kita mmembaca shalawat terlalu berlebihan

hendry Says:

Juli 11, 2008 at 10:32 am
Pak Ustadz setahu saya yang namanya bid’ah itu melebih-lebih kan rukun agama setau saya shalawat bukan merupakan rukun agama dan maulid juga bukan dalam rukun agama tetapi tradisi kenapa dikatakan bid’ah dasarnya apa pak, dan ada hadist yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat apa alasan kenapa mempermasalahkan orang yang baik kenapa tidak mempermasalahkan aliran sesat yang ada diantara kita contoh ahmadiyah yang menyimpang?
—————
abah zacky
Kalau Anda baca blog, saya pun mempersoalkan ahmadiyyah, pengajian juz, ataupun al-Qiyadah.

Kemudian soal bid’ah, baca lagi deh dan fahami. Karena Anda memiliki definiisi yang tidak seperti dijelaskan oleh para ulama’. Ungkapan Anda, “bahwa bid’ah melebih-lebihkan rukun agama” itu tidak benar. Memang para ulama’ ada perbedaan pendapat dalam pembagiannya. Setahu saya, seperti Imam as-Suyuthi mengatakan ada bid’ah wajib, bid’ah sunnah, bid’ah haram. Tetapi pembagian itu menurut saya, berdasarkan apa yang saya pelajari dari para ulama’ yang lain, kurang tepat. Maka saya tidak mengambil pendapat Imam as-Suyuthi dalam masalah ini.

sugani Says:

Juli 24, 2008 at 7:14 am
Sebaiknya bacaan shalawat Nabi yang benar berdasarkan Hadits yang shahih, mohon dituliskan secara blok, sehingga gampang untuk mencopy pastenya termasuk juga artinya.
Dengan demikian kita semua dapat mengetahui kebenaran dari syariat agama. Insya Allah

Piko Says:

Oktober 22, 2008 at 7:34 am
Aslm. .Saya mau minta penjelasan secra jelas, mengapa shalawat badar dan nariyah itu bidah, sedngkn shlawat tsb sering di baca oleh kaum muslim lain ny? Apakah ada dalil dr al quran atau hadis sahih? Trimakasìh. Wssl

—————–
abah:

maaf, saya hanya akan menjelaskan sebisa saya. Yang namanya bid’ah itu justru karena tidak ada dalilnya. Maksud saya, suatu jenis amal ibadah yang tidak didasarkan pada dalil, baik al-qur’an maupun sunnah. Nah, kalau ada dalilnya ya tidak bid’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar